Kamis, 17 April 2008

SUDAH SAATNYA NASIB GURU DIPERBAIKI

Mendengar kata “ GURU “, mungkin kita akan teringat pada masa-masa sekolah dulu. Melalui jasa seorang gurulah kita bisa menjadi Presiden, Mentri, Peneliti atau apapun yang kita cita-citakan dari kecil dan cita-cita tersebut tidak akan mungkin tercapai apabila tidak belajar pada seorang manusia yang bernama guru. Pada awal-awal sekolah kita tidak pernah tahu seberapa penting peran guru bagi kemajuan pendidikan kita, terutama bangsa ini. Apakah kita pernah menghormati guru yang telah membuat kita jadi ini, jadi itu ? Mungkin sebagian orang menjawab sudah, tapi sekarang masih ada ditemukan para siswa yang tidak lagi menghormati gurunya, bahkan ada siswa yang mengejek malah ada yang mencaci maki gurunya. Apakah ini yang dibilang bahwa kita sudah menghormati atau menghargai jasa para guru. Mungkin kita perlu belajar lagi untuk menghormati dan menghargai jasa para guru.

Sekarang coba kita bayangkan, bagaimana kalau kita menjadi seorang guru. Apakah kita sudah siap untuk dihina, dicaci atau di maki. Mungkin kita sudah tidak tahan lagi. Makanya kita perlu menyadari bahwa peran seorang guru tidaklah mudah, karena seorang guru itu butuh ketabahan dan kesabaran untuk menghadapi tingkah laku siswanya yang beraneka ragam.

Kalau kita memembicarakan seorang sosok guru dari sisi positifnya saja, tidaklah baik. Karena tidak manusia yang sempurna. Tidak mungkin seorang guru tidak mempunyai sisi negatifnya.

Salah satu sisi negatif guru yang masih membudaya sampai sekarang adalah teganya guru melakukan perbuatan yang sangat di benci oleh agama, seperti ada guru yang tega melakukan perbuatab asusila terhadap muidnya. Sungguh sangat disedihkan apabila panyakit ini masih ada di benak guru. Seharusnya para guru tersebut sadar akan peranya sebagai teladan bagi muridnya. Maka dari itu apakah ini yang dinamakan pendidikan, seharusnya seorang guru memberikan contoh yang baik pada muridnya.

Makanya dari sekarang para guru harus memberikan contoh teladan yang baik pada siswanya. Agar para siswa bisa memberikan feedback atau umpan balik terhadap sikap gurunya. Dengan hal seperti ini, maka akan tercipta suatu rasa kekeluargaan dilingkungan sekolah yang memberikan dampak yang sangat baik bagi semangat belajar para murid. Mungkin kita perlu melestarikan pepatah “ SENYUM GURU ADALAH SEMANGAT MURID “, apabila ini diterapkan dalam proses pendidikan, hal-hal yang diterangkan diatas akan tercipta dengan baik.

Pernakah kita mengunjung PLTA Danau Maninjau atau PT. Semen Padang, orang yang bekerja di dua perusahaan tersebut, hanyalah sebagian kecil dari buah kerja para guru, Kita atau pemerintah hanya memikirkan bangsa ini maju dalam bidang apapun terutama dalam bidang pendidikan. Tapi pemerintah tidak pernah memikirkan bagaimana kemajuan guru. Hal inilah yang seharusnya dikaji pemerintah untuk memajukan bidang pendidikan. Coba kita pikirkan, apakah gaji guru yang lebih kurang Rp. 2.000.000 sudah cukup ?. Mungkin kita tidak pernah tahu, bahwa dengan uang dua juta tersebut, seorang guru bisa menciptakan seorang presedin, wakil presiden, dll.

Hal yang kedua yang perlu kita perhatikan, apakah dengan gaji dua juta tersebut, sudah cukup untuk biaya kehidupan bagi para guru ?.Hal yang kedua inilah yang luput dari perhatian pemerintah. Walaupun pemerintah memberi gaji guru sebanyak lima Juta, mungkin uang lima juta tersebut tidak sebanding dengan pengabdian para guru terhadap bangsa ini.

Pernah suatu ketika penulis menonton televisi, Penulis menyaksikan ada seorang guru yang bekerja sebagai tukang jahit untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Zaman sekarang ini para guru harus pandai-pandai mencari waktu disela pekerjaannya sebagai guru untuk menanbah penghasilanya.

Makanya, mulai dari sekarang pemerintah harus memikirkan bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Terakhir penulis hanya ingin menyampaikan dua pepatah :

GURU, JASAMU TAK SEBANDING DENGAN UANG

“ BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENHORMATI JASA PARA GURU “

Jumat, 29 Februari 2008

Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan



Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.



Zaman sudah berubah. Semua orang maunya serba cepat. Jadinya, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Mau ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Bagi cewek-cewek yang ingin rambut panjang tidak perlu harus menunggu sampai berbulan-bulan. Cukup tunggu ½ jam saja dengan teknik hair extension, rambut bisa panjang sesuai keinginan.



Maklum, orang makin sibuk. Malas direpotkan dengan hal-hal ribet. Maunya serba instan. Salahkah itu?, selama masih mengikuti hukum alam, serba instan itu sah-sah saja. “Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat. Tetapi tidak asal cepat. Kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”. Tapi ingat itu ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama.



Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.



Pendidikan Cenderung Dibisniskan.



Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.



Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi.



Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama "gencarnya" dengan peningkatan pengangguran lulusan. Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?



Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.



Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam prakteknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.



Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.



Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.



Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank di Cirebon menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarnaja dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Pertanian dari Bogor sebagai kasir di bank kami dan menolak Sarjana Ekonomi manajemen dari Bandung yang IPK-nya sangat bagus."



Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi tidak nyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.





___________
Tata Sutabri S.Kom, MM -- Deputy Chairman of STMIK INTI INDONESIA, Pemerhati Dunia Pendidikan TI, Jl. Arjuna Utara No.35 – Duri Kepa Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 Telp. 5654969, e-mail : tata.sutabri@inti.ac.id .